Thursday, January 31, 2013
Sejarah Jawa Barat
Jawa Barat termasuk provinsi yang berdiri sejak awal kemerdekaan. Provinsi ini ditetapkan oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan bersama tujuh provinsi lainnya. Ke tujuh provinsi tersebut adalah Jawa Tengah, Jawa Timur Sumatera, Kalimantan, Sunda Kecil, Sulawesi, dan Maluku. Gubernur Jawa Barat pertama adalah Sutardjo Kartohadikusumo.
Jawa Barat memiliki sejarah yang sangat tua. Dari alat-alat yang ditemukan dan diketahui berasal dari 600.000 tahun lalu, diperkirakan bahwa Jawa Barat sudah dihuni sejak tahun tersebut. Namun bentuk kehidupan manusia baru diketahui mulai tahun 2000 sebelum Masehi, yaitu, saat terjadinya migrasi besar-besaran dari kawasan selatan Cina ke wilayah Indonesia, termasuk Jawa Barat.
Pada awal Masehi, penduduk Jawa Barat sudah menjalin hubungan dengan dunia luar sehingga pengaruh kebudayaan luar mulai masuk, seperti kebudayaan Hindu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti-prasasti dari zaman itu, misalnya prasasti yang ditemukan di daerah Ciaruteun, Bogor. Dari prasasti itu diketahui bahwa telah berdiri kerajaan bernama Tarumanegara dengan rajanya, Purnawarman.
Prasasti berikutnya bernama prasasti Sanghyang Tapak, ditemukan di kampung Pengcalihan dan Bantar Muncang, di tepi sungai Citatih, Sukabumi. Prasasti tersebut menunjukan bahwa tahun 1035 berdiri Kerajaan Sunda yang diperintah oleh Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanamandales Waranindita Haro Gowardhana Wikramatunggadewa. Selain Kerajaan Tarumanegara dan Sunda Pajajaran, di Jawa Barat juga terdapat Kerajaan Galuh.
Pada tahun 1357, terjadi peristiwa Bubat, yaitu, perang antara Raja Sunda dan Patih Majapahit Gajah Mada. Pasukan Majapahit, di bawah pimpinan Patih Gajah Mada berhasil menaklukan Pajajaran dalam perang Bubat tersebut.
Mulai abad 15, Kerajaan Sunda dengan pusat kekuasaan di Pakuan Pajajaran mulai kehilangan kekuatannya sampai pada akhirnya runtuh. Penyebabnya adalah pemberontakan daerah-daerah yang ingin melepaskan diri dari pusat kerajaan dan juga disebabkan oleh penyebaran agama Islam. Mulai abad 15 ini juga, Jawa Barat memasuki masa-masa kelam kolonoalisme.
Pada tanggal 16 Januari 1904, seorang tokoh perempuan bernama Raden Dewi Sartika membuka sekolah untuk anak-anak gadis di Bandung. Sekolah tersebut basa berdiri berkat dukungan yang diberikan oleh Bupati Martanegara. Sejak itu, pendidikan di Bandung, khususnya untuk perempuan, terus berkembang. Dewi Sartika merupakan tokoh yang sangat memperhatikan kemajuan pendidikan.
Di era perjuangan kemerdekaan nasional, bermunculan lembaga-lembaga yang berjuang untuk meraih kemerdekaan. Salah satunya didirikan di Bandung tanggal 17-18 Desember 1927 dengan nama Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang beranggotakan PNI, Partai Sarekat Islam, Budi Oetomo, Paguyuban Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische Studi Club.
Pada tanggal 1 Maret 1942, Jepang mendarat di Merak, Teluk Banten, dan di Eretan, Indramayu. Sejak saat itu, dimulailah penjajahan Jepang di wilayah Jawa Barat. Penjajahan tersebut berakhir setelah Jepang menyerah. Pada awal kemerdekaan, Provinsi Jawa Barat dibagi menjadi lima wilayah keresidenan, yaitu, Banten, Jakarta, Bogor, Priangan, dan Cirebon. Pemerintahan provinsi ini dilengkapi dengan badan-badan pemerintahan seperti komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Jawa Barat, dan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
Pada tanggal 12 Oktober 1945, tentara sekutu memasuki Bandung. Tentara sekutu itu ditunggangi oleh NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berambisi menancapkan kembali kuku kolonialismenya di Indonesia. Dengan dalih untuk meredakan pertempuran, pada tanggal 27 November 1945, terjadi pembelahan Kota Bandung. sebelah utara rel kereta api yang membelah kota Bandung di duduki oleh Sekutu dan Belanda. Sementara pemerintah RI menguasai daerah selatan rel kereta api tersebut. Namun pembelahan tersebut tidak efektif meredakan pertempuran.
Pada tanggal 24 Maret 1946, atas amanat Perdana Menteri RI yang memerintahkan pengosongan Kota Bandung, para petugas pemerintahan, para pejuang bersenjata dan diikuti penduduk Bandung berbondong-bondong meninggalkan kota tersebut. Setelah sebagian besar rakyat meninggalkan kota, Bandung dibakar oleh para pejuang yang tergabung dalam Majelis Persatuan Perjoangan Priangan (MP3). Tujuannya agar bangunan-bangunan penting tidak diduduki musuh. Peristiwa ini dikenang sebagai “Bandung Lautan Api”.
Pada bulan November 1946 terjadi peralihan kekuasaan dari sekutu terhadap Belanda. Sejak saat itu, para pejuang kemerdekaan berhadapan langsung dengan Belanda. Belanda kemudian menerapkan strategi politik pecah Belah. Namun, strategi tersebut tidak mampu memadamkan perlawanan rakyat yang dadanya penuh dengan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perlawanan tersebut memaksa Belanda untuk berunding, maka pada November 1946-Maret 1947, digelar Perundingan Linggajati, dilaksanakan di desa Linggarjati, wilayah Kabupaten Kuningan. Isinya Belanda mengakui Republik Indonesia terdiri dari Jawa, Sumatera and Madura. Kedua pihak setuju dengan bentuk Republik Indonesia Serikat dan pemerintah RIS akan tetap bekerjasama dengan pemerintah Belanda untuk membentuk Uni Indonesia-Belanda.
Pada tanggal 24 April 1948, Belanda membentuk Negara Pasundan dan memilih R.A.A. Wiranata Kusuma sebagai wali negara Pasundan. Atas persetujuan pemerintah RI, dia bersedia menerima jabatan tersebut. Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melakukan aksi militer II dengan menyerbu Yogyakarta. Jawa Barat memprotes penyerangan tersebut, ditandai oleh pengunduran diri Perdana Menteri Negara Pasundan, Adil Puradirja.
Bentuk negara federal ternyata banyak ditentang rakyat Indonesia. Pada tanggal 8 Maret 1950, negara Pasundan menuntut untuk bergabung kembali dengan Republik Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Republik Indonesia kembali berdiri. Setelah kembali ke NKRI, Jawa Barat masih disibukan dengan berbagai kekacauan. Kali ini kekacauan yang diakibatkan oleh DI/TII Kartosuwiryo. Setelah Kartosuwiryo berhasil ditumpas tahun 1962, muncul kekacauan berikutnya, yaitu, peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965. Keadaan mulai membaik setelah masuk era Orde Baru, kondisi semakin stabil. (Sumber: sejarahbangsaindonesia.co.cc)
Monday, January 28, 2013
Sunday, January 13, 2013
UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA
Adat Sunda merupakan salah satu pilihan
calon mempelai yang ingin merayakan pesta pernikahannya. Khususnya
mempelai yang berasal dari Sunda. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang
tua atau utusan pihak pria yang berminat mempersunting seorang gadis. Lamaran dilaksanakan
oleh orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat. Disertai seseorang
berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa lamareun atau sirih
pinangkomplit, uang, seperangkat pakaian wanita sebagai pameungkeut (pengikat).
Cincin tidak wajib harus dibawa. Misalnya dibawa, biasanya berupa cincing
meneng, melambangkan kemantapan dan keabadian.
Tunangan, dilakukan ‘patuker beubeur
tameuh’, yaitu penyerahan ikat pinggang warna pelangi atau polos kepada si
pihak wanita.
Seserahan (3 - 7 hari sebelum pernikahan).
Calon pengantin pria membawa pakaian, uang, perabot rumah tangga, makanan,
dan lain-lain.
Ngeuyeuk seureuh Dipimpin pengeuyeuk. Pengeuyek
mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan doa restu kepada kedua
orang tua serta memberikan nasehat melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan
berupa parawanten, pangradinan dan sebagainya. Diiringi lagu kidung oleh
pangeuyeuk Disawer beras, agar hidup sejahtera. dikeprak dengan sapu lidi
disertai nasehat agar memupuk kasih sayang dan giat bekerja. Membuka kain putih
penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah tangga yang akan dibina masih bersih dan
belum ternoda.Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin
pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat menyesuaikan
diri.
Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk menuju pelaminan. Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua mempelai akan menandatangani surat nikah. Sungkeman,Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantindipayungi payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas payung.Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas harupat dipatahkan pengantin pria. Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai pecah. Lantas kakinyadicuci dengan air bunga dan dilap pengantin wanita.Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan.
dikutip dari http://www.hadisukirno.com/artikel-detail?id=193
Kebudayaan Sunda
Budaya Sunda, dikenal sebagai budaya yang menjunjung tinggi
sopan santun. Pada umumnya budaya Sunda memiliki karakter ramah, mudah senyum,
sopan, lembut dan sangat hormat kepada orang tua. Didalam budaya Sunda, mereka
diajarkan bagaimana berbicara lembut terhadap orang yang lebih tua.
Kebudayaan Sunda merupakan salah satu budaya tertua yang ada
di nusantara, Sistem kepercayaan spiritual tradisional Sunda adalah Sunda
Wiwitan yang mengajarkan keselarasan hidup dengan alam. Terdapat beberapa ajaran budaya Sunda tentang
jalan menuju keutamaan hidup. Etos dan watak Sunda itu adalah cageur,
bageur, singer dan pinter, yang dapat diartikan "sembuh" (waras),
baik, sehat (kuat), dan cerdas.
Kebudayaan Sunda memiliki macam-macam seni dan budaya, diantaranya:
1. Wayang Golek
1. Wayang Golek
Golek yaitu merupakan semacam boneka yang
terbuat dari kayu yang ditampilkan dan membawakan alur cerita bersejarah.
Wayang Golek ini dimainkan oleh seorang Dalang dan diiringi oleh nyanyian serta
iringan musik tradisional Jawa Barat yang biasa disebut Degung.
2.
2. Degung
2. Degung
Kesenian Degung biasanya digunakan untuk musik pengiring/pengantar. Degung ini merupakan gabungan dari peralatan khas kesenian Jawa Barat yaitu, gendang, goong, kempul, saron, bonang, kacapi, suling, rebab, dan sebagainya.
3. Kuda Renggong
atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran yang terdapat diKabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara penyajiannya yaitu, seekor kudaatau lebih di hias warna-warni, budak sunat dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut,Budak sunat tersebut dihias seperti seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula, memakai Bendo, takwa dan pakai kain serta selop.
Sunda sebagai nama tempat
Istilah
Sunda sebagai nama tempat, pertama kali disebut oleh ahli ilmu bumi
dari Yunani, Ptolemaeus dalam bukunya tahun 150 Masehi, kata Prof Dr drs
Edi Suhardi Ekadjati, dalam pidato pengukuhan dirinya selaku Guru Besar
Ilmu Sejarah di Universitas Padjadjaran, Bandung, Tahun 1995. (Prof
Edi Suhardi Ekadjati dilahirkan di Kuningan, Jawa Barat, 25 Maret 1945.
Ia, suami Hj Utin Nur Husna dan dikaruniai empat anak. Edi adalah
Sarjana Sastra Unpad (1971), kemudian melanjutkan studi di Program
Filologi untuk Sejarah, Rikjsuniver siteit, Leiden (1975), lalu meraih
Doktor di Universitas Indonesia (1979). Prof. Edi telah Meninggal pada 1
Juni 2006 akibat serangan stroke kedua yang diawali oleh serangan
jantung)
Mengutip buku Atmamihardja (1958: 8),
Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang
terletak di sebelah timur India.
Berdasarkan informasi itu kemudian
ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah
dan beberapa pulau di timur India, kata Edi yang kini Kepala Museum
Konferensi Asia Afika dan dosen di Unpad serta Unpar Bandung.
Dari penelurusan kepustakaan,kata Sunda
seperti dikatakan Rouffaer (1905: 16), merupakan pinjaman kata dari
kebudayaan Hindu seperti juga kata-kata Sumatera, Madura, Bali, Sumbawa
yang semuanya menunjukkan nama tempat.
Kata Sunda sendiri, kemungkinan berasal
dari akar kata “sund” atau kata “suddha” dalam bahasa Sanskerta yang
mengandung makna: bersinar, terang, putih (Williams, 1872: 1128, Eringa
1949: 289) Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali pun terdapat
kata “Sunda” dengan pengertian: bersih, suci, murni, tak
bercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada (Mardiwarsito, 1990:
569-57, Anandakusuma, 1986: 185-186; Winter, 1928: 219).
Ahli geologi Belanda RW van Bemmelen,
mengatakan, Sunda adalah suatu istilah yang digunakan untuk menamai
dataran bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian
tenggaranya dinamai Sahul, ujar Edi. Dataran Sunda dikelilingi sistem
Gunung Sunda yang melingkar (circum-Sunda Mountain System) yang
panjangnya sekitar 7000 km.
Dataran Sunda terdiri dari dua bagian
utama, yaitu bagian utara, meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau
karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat, serta bagian selatan yang
terbentang dari barat sampai ke timur mulai Lembah Brahm aputera di
Assam (India) hingga Maluku bagian selatan. Dataran Sunda itu bersambung
dengan kawasan sistem Gunung Himalaya di barat dan dataran Sahul di
timur, kata Edi, mengedepankan pendapat van Bemmelen (1949: 2-3).
Selanjutnya, sejumlah pulau yang kemudian
terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda
pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan
Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera,Jawa,
Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau
Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor (Bemmelen,1949:15-16).
Mengutip Gonda (1973:345-346) pada
mulanya kata “suddha” dalam bahasa Sansekerta diterapkan pada nama
sebuah gunung yang menjulang tinggi di bagian barat Pulau Jawa yang dari
jauh tampak putih karena tertutup abu asal gunung tersebut. Gunung
Sunda itu terletak di bagian barat Gunung Tangkuban Parahu. Kemudian
nama tersebut diterapkan pula pada wilayah gunung itu berada dan
penduduknya. Mungkin sekali, pemberian nama Sunda bagi wilayah bagian
barat Pulau Jawa itu diilhami oleh sebuah kota dan atau kerajaan di
India yang terletak di pesisir barat India antara kota Goa dan Karwar
(ENI, IV,1921:14-15).
Wednesday, January 9, 2013
Budaya Urang Sunda
Kebudayaan Sunda termasuk salah satu kebudayaan suku bangsa di
Indonesia yang berusia tua. Bahkan, dibandingkan dengan kebudayaan Jawa
sekalipun, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia
relatif lebih tua, setidaknya dalam hal pengenalan terhadap budaya
tulis. “Kegemilangan” kebudayaan Sunda
di masa lalu, khususnya semasa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan
Sunda, dalam perkembangannya kemudian seringkali dijadikan acuan dalam
memetakan apa yang dinamakan kebudayaan Sunda.
Kebudayaan Sunda yang ideal pun kemudian sering dikaitkan sebagai
kebudayaan raja-raja Sunda atau tokoh yang diidentikkan dengan raja Sunda.
Dalam kaitan ini, jadilah sosok Prabu Siliwangi dijadikan sebagai tokoh
panutan dan kebanggaan urang Sunda karena dimitoskan sebagai raja Sunda
yang berhasil, sekaligus mampu memberikan kesejahteraan kepada
rakyatnya.Dalam perkembangannya yang paling kontemporer, kebudayaan Sunda kini banyak mendapat gugatan kembali. Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda pun sering kali mencuat ke permukaan. Apakah kebudayaan Sunda masih ada? Kalau masih ada, siapakah pemiliknya? Pertanyaan seputar eksistensi kebudayaan Sunda yang tampaknya provokatif tersebut, bila dikaji dengan tenang sebenarnya merupakan pertanyaan yang wajar-wajar saja. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, karena kebudayaan Sunda dalam kenyataannya saat ini memang seperti kehilangan ruhnya atau setidaknya tidak jelas arah dan tujuannya. Mau dibawa ke mana kebudayaan Sunda tersebut?
Setidaknya ada empat daya hidup yang perlu dicermati dalam kebudayaan Sunda, yaitu, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespons berbagai tantangan yang muncul, baik dari dalam maupun dari luar, dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup manakala berhadapan dengan tantangan dari luar.
Akibatnya, tidaklah mengherankan bila semakin lama semakin banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergilas oleh kebudayaan asing. Sebagai contoh paling jelas, bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas urang Sunda tampak secara eksplisit semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan “keterbelakangan”, untuk tidak mengatakan primitif. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada urang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Bahkan, rasa “gengsi” ini terkadang ditemukan pula pada mereka yang sebenarnya merupakan pakar di bidang bahasa Sunda, termasuk untuk sekadar mengakui bahwa dirinya adalah pakar atau berlatar belakang keahlian di bidang bahasa Sunda.
Apabila kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan, hal itu sejalan pula dengan kemampuan mobilitasnya. Kemampuan kebudayaan Sunda untuk melakukan mobilitas, baik vertikal maupun horizontal, dapat dikatakan sangat lemah. Oleh karenanya, jangankan di luar komunitas Sunda, di dalam komunitas Sunda sendiri, kebudayaan Sunda seringkali menjadi asing. Meskipun ada unsur kebudayaan Sunda yang memperlihatkan kemampuan untuk bermobilitas, baik secara horizontal maupun vertikal, secara umum kemampuan kebudayaan Sunda untuk bermobilitas dapat dikatakan masih rendah sehingga kebudayaan Sunda tidak saja tampak jalan di tempat tetapi juga berjalan mundur.
Berkaitan erat dengan dua kemampuan terdahulu, kemampuan tumbuh dan berkembang kebudayaan Sunda juga dapat dikatakan memperlihatkan tampilan yang tidak kalah memprihatinkan. Jangankan berbicara paradigma-paradigma baru, iktikad untuk melestarikan apa yang telah dimiliki saja dapat dikatakan sangat lemah. Dalam hal folklor misalnya, menjadi sebuah pertanyaan besar, komunitas Sunda yang sebenarnya kaya dengan folklor, seberapa jauh telah berupaya untuk tetap melestarikan folklor tersebut agar tetap “membumi” dengan masyarakat Sunda.
Kalaulah upaya untuk “membumikan” harta pusaka saja tidak ada bisa dipastikan paradigma baru untuk membuat folklor tersebut agar sanggup berkompetisi dengan kebudayaan luar pun bisa jadi hampir tidak ada atau bahkan mungkin, belum pernah terpikirkan sama sekali. Biarlah folklor tersebut menjadi kenangan masa lalu urang Sunda dan biarkanlah folklor tersebut ikut terkubur selamanya bersama para pendukungnya, begitulah barangkali ucap urang Sunda yang tidak berdaya dalam merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya.
Berkenaan dengan kemampuan regenerasi, kebudayaan Sunda pun tampaknya kurang membuka ruang bagi terjadinya proses tersebut, untuk tidak mengatakan anti regenerasi. Budaya “kumaha akang”, “teu langkung akang”, “mangga tipayun”, yang demikian kental melingkupi kehidupan sehari-hari urang Sunda dapat dikatakan menjadi salah satu penyebab rentannya budaya Sunda dalam proses regenerasi. Akibatnya, jadilah budaya Sunda gagap dengan regenerasi.
Generasi-generasi baru urang Sunda seperti tidak diberi ruang terbuka untuk berkompetisi dengan sehat, hanya karena kentalnya senioritas serta “terlalu majunya” pemikiran para generasi baru, yang seringkali bertentangan dengan pakem-pakem yang dimiliki generasi sebelumnya. Akibatnya, tidaklah mengherankan bila proses alih generasi dalam berbagai bidang pun berjalan dengan tersendat-sendat.
Bila pengamatan terhadap daya hidup kebudayaan Sunda melahirkan temuan-temuan yang cukup memprihatinkan, hal yang sama juga terjadi manakala tiga mustika mutu hidup kreasi Rendra digunakan untuk menjelajahi Kebudayaan Sunda, baik itu mustika tanggung jawab terhadap kewajiban, mustika idealisme maupun mustika spontanitas. Lemahnya tanggung jawab terhadap kewajiban tidak saja diakibatkan oleh minimnya ruang-ruang serta kebebasan untuk melaksanakan kewaijiban secara total dan bertanggung jawab tetapi juga oleh lemahnya kapasitas dalam melaksanakan suatu kewajiban.
Hedonisme yang kini melanda Kebudayaan Sunda telah mampu menggeser parameter dalam melaksanakan suatu kewajiban. Untuk melaksanakan suatu kewajiban tidak lagi didasarkan atas tanggung jawab yang dimilikinya, tetapi lebih didasarkan atas seberapa besar materi yang akan diperolehnya apabila suatu kewajiban dilaksanakan. Bila ukuran kewajiban saja sudah bergeser pada hal-hal yang bersifat materi, janganlah berharap bahwa di dalamnya masih ada apa yang disebut mustika idealisme. Para hedonis dengan kekuatan materi yang dimilikinya, sengaja atau tidak sengaja, semakin memupuskan idealisme dalam kebudayaan Sunda. Akibatnya, jadilah betapa sulitnya komunitas Sunda menemukan sosok-sosok yang bekerja dengan penuh idealisme dalam memajukan kebudayaan Sunda.
Berpijak pada kondisi lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda, timbul pertanyaan besar, apa yang salah dengan kebudayaan Sunda? Untuk menjawab ini banyak argumen bisa dikedepankan. Tapi dua di antaranya yang tampaknya bisa diangkat ke permukaan sebagai faktor berpengaruh paling besar adalah karena ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda serta lemahnya tradisi, baca, tulis , dan lisan (baca, berbeda pendapat) di kalangan komunitas Sunda.
Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya “pegangan bersama” yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda. Kebudayaan Sunda tampaknya dibiarkan berkembang secara liar, tanpa ada upaya sungguh-sungguh untuk memandunya agar selalu berada di “jalan yang lurus”, khususnya manakala harus berhadapan dengan kebudayaan-kebudayaan asing yang galibnya terorganisasi dengan rapi serta memiliki kemasan menarik. Berbagai unsur kebudayaan Sunda yang sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkan, bahkan untuk dijadikan model kebudayaan nasional dan kebudayaan dunia tampak tidak mendapat sentuhan yang memadai. Ambillah contoh, berbagai makanan tradisional yang dimiliki urang Sunda, mulai dari bajigur, bandrek, surabi, colenak, wajit, borondong, kolontong, ranginang, opak, hingga ubi cilembu, apakah ada strategi besar dari pemerintah untuk mengemasnya dengan lebih bertanggung jawab agar bisa diterima komunitas yang lebih luas. Kalau Kolonel Sanders mampu mengemas ayam menjadi demikian mendunia, mengapa urang Sunda tidak mampu melahirkan Mang Ujang, Kang Duyeh, ataupun Bi Eha dengan kemasan-kemasan makanan tradisional Sunda yang juga mendunia?
Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh urang Sunda. Dalam kaitan ini, upaya Yayasan Rancage untuk memberikan penghargaan dalam tradisi tulis perlu mendapat dukungan dari berbagai elemen urang Sunda. Sayangnya, hingga saat ini pertumbuhan tradisi tulis pada urang Sunda masih tetap terbilang rendah.
Gubernur Jabar Minim Aksi Soal Peningkatan UKM
KUNINGAN Calon Gubernur (cagub) Jawa
Barat periode 2013-2018 dari Partai Golkar, Irianto MS Syafiuddin atau
yang akrab disapa Kang Yance menyatakan, untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi provinsi Jawa Barat pemerintah harus aktif melibatkan
partisipasi warga masyarakat melalui kegiatan pembinaan bidang
wirausaha.
Menurut cagub nomor urut dua (2) yang
memiliki visi misi Jawa Barat Mulia (Makmur, Unggul, Lestari, Inovatif,
Agamis) ini, pertumbuhan ekonomi melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD)
signifikan melalui pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) di desa-desa.
“Karena tidak mungkin pemerintah mampu melakukan pertumbuhan ekonomi
tanpa melibatkan kalangan pengusaha UKM. Itu kajian yang selama ini saya
teliti,” jelasnya.
Untuk itu, mantan Bupati Indramayu dua
periode ini berkeinginan membentuk lembaga masyarakat, baik dari
kalangan pesantren, karang taruna, dan organisasi pemuda lainnya melalui
pembinaan mental kewirausahaan dan ahlak SDM nya, kemudian disertai
modal awal. “Saya ingin membentuk santri karya dari kalangan pesantren
yang dididik jadi seorang wirausahawan yang kemudian diberikan modal,”
ujar Kang Yance.
Seharusnya, pertumbuhan ekonomi melalui
PAD Jawa Barat sangat berpotensi ditingkatkan lagi. Saat ini, pemerintah
masih minim aksi menggalakkan UKM di desa-desa. “Pemerintah harus
menyertakan modal dalam pelatihan UKM ke masyarakat. Seperti pelatihan
bidang peternakan, pertanian dan perkebunan. Kemudian dilanjutkan dengan
membentuk balai pelatihan kerja,” paparnya.Minimnya peran pemerintah didukung dari belum terealisasinya penghapusan jumlah pengangguran di Jawa Barat. Dari jumlah 2 juta pengangguran, 80 persen dari warga miskin di pedesaan dan 20 persen warga miskin perkotaan
gempa di sukabumi
Akibat guncangan gempa bumi berkekuatan 6,1 skala Richter (SR),
sedikitnya 85 rumah warga rusak. Wilayah Sagaranten, Kecamatan Cidolog,
Kabupaten Sukabumi, merupakan lokasi terbanyak yang ditemui kerusakan.
"Wilayah
Sagaranten Kecamatan Cidolog Desa Cidolog, 4 rusak ringan, 9 rusak
sedang, 5 rusak berat. Desa Mekarjaya dan Desa Tegal Lega 10 rusak
sedang, 6 rusak berat. Desa Cikarang 15 rusak sedang," kata Kabid Humas
Polda Jawa Barat Kombes Martinus Sitompul, Senin (4/6/2012) malam.Di wilayah Tegal Buleud Desa Nangela, Kedusunan Cadas Malang, lanjutnya, sebanyak 18 rumah warga rusak ringan. Sedangkan di Kedusunan Pasir Salam, ada 18 rumah yang rusak ringan.
Untuk korban luka, menurut Martinus, terdapat di wilayah Lengkong sebanyak dua orang, yang mengalami luka pada kepala, kaki, dan perut akibat terkena reruntuhan bangunan.
Gempa 6,1 SR yang terjadi Senin (4/6/2012) pukul 18.18 WIB itu terasa getarannya hingga daerah-daerah lain di sekitar Sukabumi, seperti Jabodetabek, Bandung, Lebak, Garut, dan Tasikmalaya. Gempa tersebut berpusat di laut sekitar 121 kilometer arah barat daya Sukabumi
Subscribe to:
Posts (Atom)